Kamis, 10 November 2011

Cita-cita sesi I


Suatu siang aku bertanya dengan salah satu adik-adik asuh di desa binaan fakultasku, "Coba kalau adek-adek cita-citanya apa?"
Lalu banyak diantara mereka yang menjawab, "Aku mau jadi dokter ka."


Subhanallah, jawaban yang luar biasa bukan. Itu membuatku ingat pada jawabanku dulu ketika ditanya bunda. "Aku pingin jadi dokter ya bunda". Suatu keinginan yang polos.
Cita-cita menjadi dokter memang harus kuakui menjadi salah satu jawaban cita-cita banyak sekali anak kecil di dunia ini. Padahal belum tentu mereka mau berobat ke dokter ketika mereka sakit. Suatu hal yang lucu bukan? Di satu sisi ada keinginan untuk menjadi dokter, tapi di sisi lain ada keengganan untuk sekedar memeriksakan diri ke dokter.

Aku pikir lumrah jika banyak anak kecil yang menginginkan menjadi seorang dokter. Hati mereka yang masih bersih itu mendorong mereka untuk bermanfaat bagi sesamanya, menolong ketika ada yang memerlukan bantuan.


Ya, aku rasa semua orang akan memilih suatu profesi untuk dijadikan cita-citanya jika profesi itu menguntungkan. Entah untuk materi, entah untuk keikhlasan berbagi, ataupun kebermanfaatan manusiawi. Akupun dulu memilih menjadikan dokter sebagai cita-cita karena sungguh dorongan dalam hati ini agar dapat menolong sesama, bermanfaat untuk sesama begitu kuat. Ya, karena menolong orang lain itu menyenangkan. Lega rasanya jika kita bisa berbuat sesuatu untuk orang lain, kegembiraan yang tak sebanding dengan kelelahan ragawi.

Menyenangkan ketika telah memiliki sebuah cita-cita, gambaran masa depan yang harus diperjuangkan. Perjuangan yang tak mudah, tapi bukan berarti itu mustahil, hanya butuh kerja keras dan komitmen untuk menggapainya. Dan ketika cita-cita itu ternyata belum menjadi hakmu, rasa sedih pasti ada, tapi lihatlah kita masih bisa meraih cita-cita utama kita, keinginan sejati kita yaitu untuk berbagi, menolong sesama.

Itulah yang terjadi padaku. Seorang anak yang ketika kecilnya mengimpikan akan menjadi dokter, sang penolong. Aku tahu konsekuensi dari sebuah cita-cita yang mulia adalah perjuangan yang besar. Aku awali perjuangan itu dengan belajar rajin, berprestasi di ranah pendidikan formalku. Pendidikan yang memakan waktu yang lumayan lama, dari TK, SD, SMP, SMA, dan selanjutnya yang akan lebih menentukan terjawabnya sebuah cita-cita. Dan memang ternyata, tak hanya di akademis saja perjuangan itu... Aku belum beruntung mendapat tiket untuk meraih cita-cita sebagai dokter. Tapi tak apa, seperti yang kukatakan tadi, masih ada jalan untuk mencapai cita-cita utama kita. Akhirnya, aku banting stir.. hanya sedikit berbelok dari arah awal, dan memilih untuk menjadi perawat. Bukankah perawat juga sebuah profesi yang mulia?? Menjadi perawat itu berarti mempunyai kesempatan yang sama untuk menolong orang.


Maka kubulatkan tekadku,

"Ya Allah, sekiranya Engkau tahu bahwa urusan ini lebih baik untuk diriku, agamaku, dan kehidupanku, serta (lebih baik pula) akibatnya (di dunia dan akhirat), maka takdirkanlah dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berkahilah aku dalam urusan ini.Dan sekiranya Engkau tahu bahwa urusan ini lebih buruk untuk diriku, agamaku, dan kehidupanku, serta (lebih buruk pula) akibatnya (di dunia dan akhirat), maka jauhkanlah urusan ini dariku, dan jauhkanlah aku dari urusan ini, dan takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun, kemudian jadikanlah aku ridha menerimanya."

Tidak ada komentar: